Susu Jangan “Dimusuhi” | OTC Digest
susu_protein_stunting

Susu Jangan “Dimusuhi”

Jargon ‘4 Sehat 5 Sempurna’ begitu lekat di ingatan kita. Kini di pedoman gizi seimbang, susu tidak lagi sebagai penyempurna, melainkan sebagai salah satu pilihan protein. “Namun dalam pedoman gizi terbaru, disebutkan mengenai pentingnya susu setelah masa ASI eksklusif enam bulan,” ucap Ir. Ahmad Syafiq, M.Sc, Ph.D. Kembalinya susu dalam menu makan pun kini terlihat dari program UNICEF. “Kalau anak tidak mendapat susu, pilihan makanannya harus lebih beragam,” imbuh Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia ini.

Protein hewani adalah nutrisi yang paling penting dalam mencegah dan mengatasi stunting. Dibandingkan sumber protein lain, susu memiliki keunggulan: kandungan asam aminonya lengkap, dan paling mudah dicerna. Bukan berarti anak hanya perlu minum susu; tetap harus makan beragam jenis makanan.

Ada anggapan, satu ekor ikan setara dengan segelas susu. “Namun untuk mendapat kalsium yang setara dengan susu, ikan harus dimakan bersama tulangnya, karena kalsium terdapat di sana,” ujar Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, Sekretaris Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia.

Baca juga: Perbaikan Gizi untuk Mengatasi Stunting Masih Bermanfaat Selewat Usia 2 Tahun

Kalsium sangat penting untuk menunjang pertumbuhan tulang anak. Sayangnya, tidak semua keluarga memiliki panci bertekanan tinggi yang bisa melunakkan tulang ikan. Dalam hal ini, susu menjadi pilihan praktis, yang kaya akan protein sekaligus kalsium.

Syafiq maupun Fika menyesalkan, susu seperti “dianak tirikan” dalam rekomendasi nutrisi anak di Indonesia. “Susu itu bukan sesuatu yang haram, tapi kok seperti haram. Banyak penolakan,” ungkap Fika.

Ada beberapa hal yang memicu hal ini. Dari segi ekonomi, ada kekhawatiran bahwa meningkatnya konsumsi susu akan menambah beban impor. Bila demikian, maka perlu dicari solusinya bersama dengan industri, untuk menyediakan susu bagi masyarakat tanpa harus mengimpor susu terlalu banyak. Ini bukannya tidak mungkin. Industri susu nasional masih bisa dikembangkan, dengan memberdayakan petani susu lokal.

Baca juga: Tambahkan Susu saat Sarapan, Gula Darah Lebih Stabil

Kekhawatiran lain misalnya, ketika susu menjadi populer, maka akan mengancam keberlangsungan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. “Sebenarnya menurut penelitian, ini tidak terbukti,” ujar Syafiq. Peraturan untuk produk (susu) formula yang diperuntukkan bagi bayi usia <6 bulan sangatlah ketat. “Merk, logo, hingga warna kemasan harus dibedakan dengan produk untuk bayi yang berusia lebih tua. Formula untuk usia 0-6 bulan hanya atas indikasi, dan berdasarkan resep dokter,” tutur Syafiq.

Adapun kekhawatiran bahwa susu bubuk bisa menyebabkan diare akibat penyajian yang kurang baik, tidaklah beralasan. Di Indonesia, sudah menjadi kebiasaan untuk memasak air terlebih dulu, sehingga kecil kemungkinan bahwa orangtua menyiapkan susu bubuk untuk anak dengan air mentah. Bilapun masiha da kekhawatiran mengenai hal ini, sekarang sudah banyak tersedia susu UHT, yang bisa diminum oleh anak usia 1 tahun ke atas.

Fika menegaskan, pencegahan dan pengendalian stunting mutlak membutuhkan protein hewani, “Jangan diganti dengan nabati.” Kandungan asam amino dalam protein nabati tidak lengkap. Boleh sebagai tambahan saja, tapi tidak untuk menggantikan protein hewani. “Intinya, protein hewani harus tercukupi,” tandasnya. (nid)

_________________________________

Ilustrasi: Wood photo created by freepik - www.freepik.com